Perihal Personal dalam #SaveTIM


Tahun 2019, Taman Ismail Marzuki (TIM) direvitalisasi oleh Pemkot DKI Jakarta. Banyak bangunan yang diperbarui, dan juga ditambahkan, salah satunya adalah hotel. Tetapi revitalisasi ini membuat banyak penolakan terutama dari para seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli Tim (FSD-TIM). Marwah TIM yang harusnya jadi pusat kebudayaan Jakarta yang fokus utamanya bukan profit, harus diambil alih oleh PT Jakpro, sebuah BUMD bidang properti yang mendadak ngomongin kesenian dan hal-hal di dalamnya. Ya gue juga gak paham-paham banget tentang begituan, tapi kalo gue baca tuntutannya memang ada banyak hal yang janggal. TIM yang udah jadi tempat hidup para seniman tapi nggak melibatkan sama sekali seniman-seniman atau bahkan Dewan Kesenian Jakarta dalam perubahan besar yang dilakukan. Waktu awal gerakan #SaveTIM ini disuarakan, gue gak terlalu ngikutin dan hanya sekedar tau, pun karena bokap gue juga biasa aja dan gak begitu ikut menyuarakan pada saat itu.

Tetapi sekarang gue mendukung #SaveTIM, gue membaca tuntutan-tuntutannya dan gue setuju. Namun kalau boleh jujur, bukan itu alasan utama gue dukung gerakan ini. Justru ada satu alasan personal yang bikin gue benci sama revitalisasi taman yang jadi tempat gue main sejak kecil ini, yaitu...

Karena gue gak bisa lihat dan ngerasain  lagi jejak-jejak bekas bokap gue kalau gue pergi ke TIM

Terakhir saat gue pulang ke Jakarta dan pergi ke TIM, semuanya udah terasa asing banget. Semuanya udah kayak bangunan dan lingkungan yang beda. Gak ada lagi warung depan HB Jassin tempat bokap gue minta beliin kopi atau rokok, gak ada lagi nungguin bokap nongkrong sampe tengah malem depan toko buku Om Ucok. Gak ada lagi ngeladenin orang gila yang nonton Om Babs sama Tante Piala latihan teater. Gak ada lagi "panik" tiap bokap gue tiba-tiba ilang ngobrol sama siapa tau pas gue meleng dikit, dan gak ada lagi - gak ada lagi lainnya.

Ya walaupun sebenernya cupu banget dan kesannya egois kalau gue bilang mendukung tetapi alasan utama gue bukan tuntutan-tuntutannya tapi malah alasan personal, pada akhirnya gue mendukung juga dan esensi yang dituju juga sama. Orang-orang atau seniman yang hak-nya lagi diperjuangin ini juga bagian dari ingatan tentang bokap dan TIM yang ada di kepala gue. Terlebih gue kenal dengan nama-nama dan muka-muka yang selalu nyuarain tuntutan ini. Nama-nama yang selalu disebut dan ada di sekitar bokap gue selama dia hidup. Dan tadi malam gue baru denger kalau salah satu sahabat dekat bokap gue didepak dari DKJ setelah 20 tahun lebih mengabdi jadi videografer disana karena alasan sertifikasi dan hanya lulusan SMA. Hal ini yang semakin buat gue yakin kalau memang ada yang gak beres.

Walaupun gak banyak yang bisa gue lakuin terlebih karena jauh dari Jakarta, tapi gue amat mendukung dan selalu pantau perkembangan kasusnya. Semoga tuntutan-tuntutannya lekas dipenuhi, hidup para seniman. #SaveTIM!

Komentar