skip ---


Kurang lebih 2 tahun lalu saat film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini tayang, gue excited banget untuk nonton, terutama karena pernah baca bukunya. Akhirnya gue nonton, dan di awal cerita gue enjoy banget, scoring music-nya pun bagus-bagus menurut gue. Tetapi, ketika sampai ke klimaks cerita, gue sama sekali gak puas.


"Ini gini doang masalahnya?" pikir gue saat itu.

 

Saat scene klimaks sekeluarga di ruang tamu, akhirnya terbongkar kalau ternyata Awan punya saudara kembar tapi meninggal dan kejadian itu ditutupin sama Ayahnya. Hal itu dilakukan dengan alasan anak-anaknya gak perlu tau agar nggak ngerasa kehilangan. Pada saat itu gue gak ngerti sama sekali kenapa Angkasa menganggap itu hal yang besar dan marah banget sama Ayahnya. Sementara gue merasa kayak 'yaudah aja gak sih', dan bertanya apakah efeknya sebesar itu sampai bisa menjadi klimaks film ini? Saat itu gue masih nggak bisa paham dengan jalan pikirannya Angkasa.


Lalu fast forward dua tahun kemudian, dalam kamar kecil gue di Jatinangor. Di hari terakhir bulan November, gue 'breakdown'. Entah kenapa dari siang rasanya cemas terus dan nggak bisa keluar kamar, sampai akhirnya gue pecah di malam harinya setelah nutup telepon singkat dari nyokap. Di situ gue nangis parah, biasanya kalau ada orang, gue sama sekali gak mau nunjukin 'breakdown'-nya gue. Tapi mungkin karena gue udah nggak bisa tahan lagi, dan gue percaya dengan teman yang saat itu ada, malam itu tanpa sadar gue keluarin semua. 


Gue gak pernah mikir ini sebelumnya, tapi entah kenapa tiba-tiba saat itu gue marah akan keluarga gue, karena mereka 'skip'.

Yak, skip.

Kalian kebayang nggak sih, skip itu tuh kayak kata yang dipakai kalau kita blank pas orang ngomong, atau pikiran kosong pas merhatiin sekitar. Ya intinya kayak bengong gitu lah. 


"sorry-sorry gue skip, tadi apa?"


Kata yang seharusnya dipadankan dengan hal remeh temeh yang bisa diulang, gue pakai untuk ngegambarin situasi keluarga gue. Gue merasa keluarga gue 'skip' banget atas ketiadaan bokap gue. Rasanya ya hidup jalan lagi aja, kayak nggak ada apa-apa.  Padahal gue hidup 17 tahun ada bokap gue, abang dan nyokap gue tentunya lebih lama lagi, dan tiba-tiba bokap nggak ada, tapi kok kalian kayak 'yaudah' aja gitu? Gue sampai mikir apa gue doang yang sedih? Apa gue yang berlebihan?


Dari situ gue sadar akan kemarahan Angkasa di NKCTHI. Sekarang gue bisa relate dengan dialog dia saat bilang


"Gimana caranya bahagia, kalau sedih aja nggak tau rasanya kayak apa?"

 

Ternyata memang efeknya sebesar itu. Mungkin saat itu gue nggak bisa paham dan menganggap masalah Angkasa adalah hal yang remeh, karena gue belum ketemu sama sedih yang sebesaaaaar itu. Kesedihan yang dipendam tuh bisa meledak kapan aja, makanya kita benar-benar perlu bersedih saat kita sedih, dan juga sebaliknya. Gue sendiri juga sekarang merasa salah dengan nggak mengekspresikan sedih gue senyata-nyatanya waktu itu, yang berujung masih sering 'kambuhan' sampai sekarang. 


Gue yakin sebenarnya setiap anggota keluarga gue sedih dengan kehilangan yang kita rasakan. Tetapi mungkin entah karena gengsi ataupun mau jaga perasaan satu sama lain, kita jadi bersedih sendiri-sendiri dan berusaha nunjukkin ke"gapapa"an kita. 


Ternyata sepenting itu merasakan dan memvalidasi perasaan yang kita miliki. Ya walaupun sampai saat ini gue juga masih usaha untuk ngelakuin hal itu. Tetapi semoga 2023 jadi awal yang baru untuk kita lebih kenal dengan diri kita sendiri. Selamat tahun baru teman-teman! 




    


Komentar

Posting Komentar